Never Give up!! Hurry up, Quickly!!

PENYESALAN KETUA OSIS



Kenapa harus menyesal? Adakah jabatan itu tidak menghasilkan sesuatu yang membanggakan?

Pertanyaan tersebut patut diangkat karena akal sehat pasti heran, kenapa menjadi ketua OSIS harus menyesal? Bukankah itu sebuah kebanggaan? Bukankah tidak semua orang dapat kesempatan yang sama menjadi ketua OSIS? Dan bukankah jabatan ini merupakan pengalaman yang sangat berharga, setidaknya buat mengasah mental dan sikap kepemimpinan kita?

Aku setuju dengan daftar pertanyaan di atas. Aku pun sepaham betapa jawaban dari seluruh keheranan tadi adalah konsekuensi yang positif bagi seorang siswa SMA seperti aku ini.

Tapi bukan hal itu yang membuatku menyesal. Bukan. Tetapi karena ada "sisi lain" di samping semua proses konstruktif sebagai pemimpin siswa seperti yang dikemukakan tadi. Dan sisi itulah yang membuatku pantas menyesal. Sampai saat ini. Apakah itu?

Tanpa sadar dulu aku pernah melakukan tindakan tidak layak bagi seorang pemimpin. Yang kumaksudkan adalah rekayasa politik. Mungkin anda akan kaget dan terhenyak, mungkinkah tindakan itu dilakukan oleh anak seusiaku? Mungkin anda akan setengah tidak percaya jika dengan jujur kujawab : Iya. Sebab anda barangkali akan berpikir jika tindakan tersebut hanya mungkin bisa dan dicerna oleh akal orang dewasa, atau oleh orang dewasa tertentu yang berkecimpung di dunia politik. Tapi anak-anak, atau anak SMA, apa mungkin? Aku jawab : bisa saja. Dan sampelnya ya aku sendiri. Dan percaya tidak, jika aku melakukannya sampai 2 kali !

Begini ceritanya :

Rekayasa Politik pertama adalah ketika awal kepengurusan OSIS pimpinanku. Ketika itu kegiatan pergantian pengurus (Reformasi) OSIS menghasilkan kepengurusan dengan kepemimpinanku, menggantikan Sdr. Fariyono Zanny pada periode sebelumnya, 1991/1992. Selain itu formasi pengurus harian lain juga telah terisi, yaitu Ketua Satu Sdr. Sarijan Ahmad dan Ketua Dua Sdr. Ach. Fadla'il. Sementara pada pos Sekretaris Umum ditempati Sdr. Abd. Barhan, dibantu Sekretaris Satu Sdr. Moch. Turmudzi dan Sekretaris Dua oleh Sdr. Faishol Thohir. Sedangkan untuk Bendahara Umum dipegang Ach. Hisan dan Bendahara satu Sdr. Hasyim Kamal. Pada periode kepemimpinanku ini OSIS SMA pertama kali membentuk lembaga baru, yaitu Dewan Perwakilan Kelas (DPK) dan Majelis Permusyawaratan Kelas (MPK). Lembaga ini dijabat oleh satu orang yang diangkat tersendiri di luar kepengurusan OSIS dengan fungsi sama dengan DPR/MPR dalam konteks negara. Lembaga ini sebelum periodeku belum pernah ada, dan pertama kali dijabat oleh Sdr. Fariyono Zanny (ex Ketua OSIS 1991/1992).

Sebenarnya formasi ini sudah cukup mantap, dan sempat berjalan beberapa bulan. Tetapi di tengah jalan ada "gonjang-ganjing". Ternyata tanpa disadari sebelumnya telah muncul perseteruan individual yang pemicunya tidak jelas benar. Tapi yang pasti, perseteruan itu terjadi antar pengurus harian. Ironisnya, salah satunya melibatkan pengurus harian yakni Abdul Barhan (Sekretaris Umum). Oleh sebagian pengurus Abdul Barhan ini tidak disukai karena konon gayanya yang kurang etis. Agak angkuh dan, katanya orang Madura, magaya. Awal-awalnya dibiarkan saja, tapi lama kelamaan mulai gerah. Parahnya, dari yang semula hanya sedikit orang yang tidak suka, lama-lama bertambah banyak. Waktu itu aku tidak ikut-ikutan. Tapi lama kelamaan berubah, ikut terbawa arus. (dan inilah yang kusesali sampai sekarang) Keadaan yang kian kritis ini akhirnya memunculkan opsi pemberhentian Abdul Barhan sebagai sekretaris. Hampir semua pengurus sepakat secepatnya Barhan dicarikan pengganti. Aku sendiri tidak bisa berbuat apa ketika langkah selanjutnya adalah pemberhentian Barhan dan digantikan oleh Sdr. M. Hafidz. Yang kusesali juga sampai sekarang adalah meskipun aku tidak terlibat langsung dalam proses tersebut, dalam pengertian sebagai aktor utamanya, tetapi ketidakmampuanku bersikap atas gonjang-ganjing ini juga berperan besar atas terjadinya peristiwa tersebut. Andai saja aku tegas, mungkin lain ceritanya. Padahal aku tahu semua itu penuh rekayasa politik. Sedih juga jika diingat sekarang bagaimana perasaan Barhan ketika itu.

Sedangkan rekayasa politik kedua lebih "perih"lagi. Itu karena kali ini aku terlibat, bahkan sebagai aktor utamanya, alias otak intelektual. Ketika itu masa jabatan kepengurusan OSIS SMA Ibrahimy yang kupimpin sebentar lagi akan habis. Konsentrasi seluruh pengurus terpusat kepada persiapan kegiatan reformasi atau pergantian kepengurusan. Karena itu segala sesuatunya dipersiapkan sedini mungkin agar lebih matang dan terencana dengan baik. Lalu digelar-lah beberapa pertemuan dan rencana-rencana, sesuai kebutuhan.

Namun selain urusan persiapan teknis, secara khusus pula aku sebagai ketua OSIS mempersiapkan sesuatu yang tak kalah pentingnya, menurutku. Yaitu mempersiapkan dan sekaligus mematangkan siapa sebenarnya yang pantas menjadi ketua OSIS periode mendatang. Ide ku ini lalu kusosialisasikan kepada semua pengurus. Yang tak kalah pentingnya dari hal ini adalah bahwa ideku ini menggunakan satu asumsi sebagai "kendaraannya" : Bahwa demi kemajuan OSIS dan melanjutkan situasi kondusif yang sudah terjadi pada periode kepengurusanku hingga ke periode selanjutnya, maka perlu dihindari adanya "spekulasi politik" dengan memberikan kepemimpinan OSIS kepada siswa yang sama sekali buta dengan pengalaman organisasi. Artinya, dengan kata lain, implementasi ideku ini berbentuk postulat bahwa Ketua OSIS yang akan datang harus dari salah satu pengurus OSIS sekarang, karena asumsinya mereka yang pernah aktif saat ini sudah lebih berpengalaman dibandingkan siswa-siswa yang lain. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa kesuksesan kegiatan OSIS sangat ditentukan oleh kapasitas Ketua, sedangkan faktor lain hanya nomer sekian.

Ide tersebut kukondisikan kepada teman-teman pengurus lain, antara lain melalui rapat demi rapat. Dari forum tersebut kupompa terus ide itu sampai menghasilkan keseragaman pemahaman. Akhirnya, teman-teman setuju. Lalu disusun strategi "pemenangan"-nya. Di sinilah dimulai rekayasa politik itu.

Tahapan pertama adalah pencarian figur ketua. Kategori pertama figur ini, yang jelas, harus mantan pengurus OSIS periodeku sehingga advantage point-nya adalah pengalaman. Kategori kedua adalah harus berasal dari kelas 2 saat menjabat ketua. Persyaratan ini sudah baku dari dulu, karena diasumsikan jika kelas 1 belum "mengenal medan", sedangkan kelas 3 sudah harus dikonsentrasikan menghadapi ujian kelulusan. Nah kelas 2 yang netral dan paling ideal.

Kemudian untuk mencari figur yang tepat sesuai kriteria, beberapa pengurus berkumpul mengadakan seleksi dan skrining. Tidak semua pengurus yang terlibat, hanya pengurus yang sudah kelas tiga saja, atau mereka yang untuk periode selanjutnya tidak mungkin menjadi Ketua OSIS. Kami seleksi satu persatu kandidat-kandidatnya, dinilai dari kecakapan dan keluwesannya. Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya muncul satu nama yang dominan : Moch. Turmudzi.

Calon telah ditemukan, artinya tahapan pertama sudah dilalui. Selanjutnya beranjak ke tahapan berikutnya : "proses pemenangan". Di sinilah rekayasa politik paling transparan itu terjadi, yakni di satu sisi berupa pemaksaan kemenangan calon pilihan tadi, dan di sisi lain "penyumbatan" demokrasi secara tidak langsung. Artinya, aku sebagai ketua OSIS dengan dukungan pengurus lain bersikukuh Turmudzi harus menjadi pelanjut posisi ketua, dengan menggunakan rasionalitas dan argumentasi seperti tadi, dan bahkan demi tujuan itu segala cara harus dilakukan tak peduli meskipun harus meminggirkan proses demokrasi yang fair sekalipun.

Alhasil, karena spirit itu-lah, maka terjadilah rekayasa politik ala siswa-siswa SMA. Saat acara pemungutan suara, aku sebagai pimpinan sidang melakukan kecurangan dengan cara "menggelembungkan suara" Turmudzi. Ketika membaca surat suara, sebagian besar kubaca nama Turmudzi, meski yang tercantum bukan namanya. Dan untuk memuluskan itu, semua saksi-saksi yang mayoritas pengurus OSIS yang masuk geng-ku sudah disiapkan sebelumnya. Jadi benar-benar halus, hingga sebagian besar audiens ketika itu tidak menyadari terjadinya rekayasa tersebut. Turmudzi benar-benar naik menjadi ketua.


Ya Allah, ampunilah dosaku. Jangan lagi Kau bisikkan kebusukan itu kepadaku, suatu saat. Aku benar-benar menyesal...

(Terjadi di bulan Agustus 1993)

0 Response to “PENYESALAN KETUA OSIS”