Never Give up!! Hurry up, Quickly!!

17 APRIL, 16 JUNI, 10 OKTOBER, DAN 7 AGUSTUS



Ada apa dengan keempat tanggal di atas? Adakah yang sangat penting di hari-hari tersebut?

Benar, memang di hari itu pernah menjadi hari yang penting bagiku. Tepat di tanggal-tanggal tersebut aku pernah dibuat sibuk untuk sekedar menunjukkan perhatian dan, tentu saja, wujud "kasih sayang".

Begitukah? Iya, karena tanggal-tanggal tersebut merupakan hari kelahiran perempuan-perempuan yang pernah singgah di hatiku.

17 April 1978 adalah kelahiran AW. 16 Juni 1978 saat Puji mengulang kembali umurnya yang bertambah. 10 Oktober 1975 merupakan hari bersejarahnya Ning Fa, dan 7 Agustus 1978 menjadi milik Rini.


Dan karena aku pernah mencintainya, maka alam bawah sadarku terbawa ke dalam tuntutan diri sendiri. Keharusan bagiku untuk mempelihatkan kadar kesungguhan kepada mereka. Aku pun menjadi sibuk, setidaknya berpikir bagaimana caranya mengucapkan selamat ulang tahun.
Yang sempat kuingat, telah banyak variasi yang kulakukan pada tanggal-tanggal tersebut. Mulai dari yang biasa-biasa saja seperti mengirimkan kartu ucapan selamat, hingga yang paling heboh seperti ... ah sudahlah, tak usah diingat lagi!

Yang jelas, semuanya itu bertujuan untuk meyakinkan pasanganku bahwa aku masih tetap seperti dulu, berusaha menjadi bagian dari hidupnya ... Itu saja.
»»  Selengkapnya ...

PENYESALAN KETUA OSIS



Kenapa harus menyesal? Adakah jabatan itu tidak menghasilkan sesuatu yang membanggakan?

Pertanyaan tersebut patut diangkat karena akal sehat pasti heran, kenapa menjadi ketua OSIS harus menyesal? Bukankah itu sebuah kebanggaan? Bukankah tidak semua orang dapat kesempatan yang sama menjadi ketua OSIS? Dan bukankah jabatan ini merupakan pengalaman yang sangat berharga, setidaknya buat mengasah mental dan sikap kepemimpinan kita?

Aku setuju dengan daftar pertanyaan di atas. Aku pun sepaham betapa jawaban dari seluruh keheranan tadi adalah konsekuensi yang positif bagi seorang siswa SMA seperti aku ini.

Tapi bukan hal itu yang membuatku menyesal. Bukan. Tetapi karena ada "sisi lain" di samping semua proses konstruktif sebagai pemimpin siswa seperti yang dikemukakan tadi. Dan sisi itulah yang membuatku pantas menyesal. Sampai saat ini. Apakah itu?

Tanpa sadar dulu aku pernah melakukan tindakan tidak layak bagi seorang pemimpin. Yang kumaksudkan adalah rekayasa politik. Mungkin anda akan kaget dan terhenyak, mungkinkah tindakan itu dilakukan oleh anak seusiaku? Mungkin anda akan setengah tidak percaya jika dengan jujur kujawab : Iya. Sebab anda barangkali akan berpikir jika tindakan tersebut hanya mungkin bisa dan dicerna oleh akal orang dewasa, atau oleh orang dewasa tertentu yang berkecimpung di dunia politik. Tapi anak-anak, atau anak SMA, apa mungkin? Aku jawab : bisa saja. Dan sampelnya ya aku sendiri. Dan percaya tidak, jika aku melakukannya sampai 2 kali !

Begini ceritanya :

Rekayasa Politik pertama adalah ketika awal kepengurusan OSIS pimpinanku. Ketika itu kegiatan pergantian pengurus (Reformasi) OSIS menghasilkan kepengurusan dengan kepemimpinanku, menggantikan Sdr. Fariyono Zanny pada periode sebelumnya, 1991/1992. Selain itu formasi pengurus harian lain juga telah terisi, yaitu Ketua Satu Sdr. Sarijan Ahmad dan Ketua Dua Sdr. Ach. Fadla'il. Sementara pada pos Sekretaris Umum ditempati Sdr. Abd. Barhan, dibantu Sekretaris Satu Sdr. Moch. Turmudzi dan Sekretaris Dua oleh Sdr. Faishol Thohir. Sedangkan untuk Bendahara Umum dipegang Ach. Hisan dan Bendahara satu Sdr. Hasyim Kamal. Pada periode kepemimpinanku ini OSIS SMA pertama kali membentuk lembaga baru, yaitu Dewan Perwakilan Kelas (DPK) dan Majelis Permusyawaratan Kelas (MPK). Lembaga ini dijabat oleh satu orang yang diangkat tersendiri di luar kepengurusan OSIS dengan fungsi sama dengan DPR/MPR dalam konteks negara. Lembaga ini sebelum periodeku belum pernah ada, dan pertama kali dijabat oleh Sdr. Fariyono Zanny (ex Ketua OSIS 1991/1992).

Sebenarnya formasi ini sudah cukup mantap, dan sempat berjalan beberapa bulan. Tetapi di tengah jalan ada "gonjang-ganjing". Ternyata tanpa disadari sebelumnya telah muncul perseteruan individual yang pemicunya tidak jelas benar. Tapi yang pasti, perseteruan itu terjadi antar pengurus harian. Ironisnya, salah satunya melibatkan pengurus harian yakni Abdul Barhan (Sekretaris Umum). Oleh sebagian pengurus Abdul Barhan ini tidak disukai karena konon gayanya yang kurang etis. Agak angkuh dan, katanya orang Madura, magaya. Awal-awalnya dibiarkan saja, tapi lama kelamaan mulai gerah. Parahnya, dari yang semula hanya sedikit orang yang tidak suka, lama-lama bertambah banyak. Waktu itu aku tidak ikut-ikutan. Tapi lama kelamaan berubah, ikut terbawa arus. (dan inilah yang kusesali sampai sekarang) Keadaan yang kian kritis ini akhirnya memunculkan opsi pemberhentian Abdul Barhan sebagai sekretaris. Hampir semua pengurus sepakat secepatnya Barhan dicarikan pengganti. Aku sendiri tidak bisa berbuat apa ketika langkah selanjutnya adalah pemberhentian Barhan dan digantikan oleh Sdr. M. Hafidz. Yang kusesali juga sampai sekarang adalah meskipun aku tidak terlibat langsung dalam proses tersebut, dalam pengertian sebagai aktor utamanya, tetapi ketidakmampuanku bersikap atas gonjang-ganjing ini juga berperan besar atas terjadinya peristiwa tersebut. Andai saja aku tegas, mungkin lain ceritanya. Padahal aku tahu semua itu penuh rekayasa politik. Sedih juga jika diingat sekarang bagaimana perasaan Barhan ketika itu.

Sedangkan rekayasa politik kedua lebih "perih"lagi. Itu karena kali ini aku terlibat, bahkan sebagai aktor utamanya, alias otak intelektual. Ketika itu masa jabatan kepengurusan OSIS SMA Ibrahimy yang kupimpin sebentar lagi akan habis. Konsentrasi seluruh pengurus terpusat kepada persiapan kegiatan reformasi atau pergantian kepengurusan. Karena itu segala sesuatunya dipersiapkan sedini mungkin agar lebih matang dan terencana dengan baik. Lalu digelar-lah beberapa pertemuan dan rencana-rencana, sesuai kebutuhan.

Namun selain urusan persiapan teknis, secara khusus pula aku sebagai ketua OSIS mempersiapkan sesuatu yang tak kalah pentingnya, menurutku. Yaitu mempersiapkan dan sekaligus mematangkan siapa sebenarnya yang pantas menjadi ketua OSIS periode mendatang. Ide ku ini lalu kusosialisasikan kepada semua pengurus. Yang tak kalah pentingnya dari hal ini adalah bahwa ideku ini menggunakan satu asumsi sebagai "kendaraannya" : Bahwa demi kemajuan OSIS dan melanjutkan situasi kondusif yang sudah terjadi pada periode kepengurusanku hingga ke periode selanjutnya, maka perlu dihindari adanya "spekulasi politik" dengan memberikan kepemimpinan OSIS kepada siswa yang sama sekali buta dengan pengalaman organisasi. Artinya, dengan kata lain, implementasi ideku ini berbentuk postulat bahwa Ketua OSIS yang akan datang harus dari salah satu pengurus OSIS sekarang, karena asumsinya mereka yang pernah aktif saat ini sudah lebih berpengalaman dibandingkan siswa-siswa yang lain. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa kesuksesan kegiatan OSIS sangat ditentukan oleh kapasitas Ketua, sedangkan faktor lain hanya nomer sekian.

Ide tersebut kukondisikan kepada teman-teman pengurus lain, antara lain melalui rapat demi rapat. Dari forum tersebut kupompa terus ide itu sampai menghasilkan keseragaman pemahaman. Akhirnya, teman-teman setuju. Lalu disusun strategi "pemenangan"-nya. Di sinilah dimulai rekayasa politik itu.

Tahapan pertama adalah pencarian figur ketua. Kategori pertama figur ini, yang jelas, harus mantan pengurus OSIS periodeku sehingga advantage point-nya adalah pengalaman. Kategori kedua adalah harus berasal dari kelas 2 saat menjabat ketua. Persyaratan ini sudah baku dari dulu, karena diasumsikan jika kelas 1 belum "mengenal medan", sedangkan kelas 3 sudah harus dikonsentrasikan menghadapi ujian kelulusan. Nah kelas 2 yang netral dan paling ideal.

Kemudian untuk mencari figur yang tepat sesuai kriteria, beberapa pengurus berkumpul mengadakan seleksi dan skrining. Tidak semua pengurus yang terlibat, hanya pengurus yang sudah kelas tiga saja, atau mereka yang untuk periode selanjutnya tidak mungkin menjadi Ketua OSIS. Kami seleksi satu persatu kandidat-kandidatnya, dinilai dari kecakapan dan keluwesannya. Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya muncul satu nama yang dominan : Moch. Turmudzi.

Calon telah ditemukan, artinya tahapan pertama sudah dilalui. Selanjutnya beranjak ke tahapan berikutnya : "proses pemenangan". Di sinilah rekayasa politik paling transparan itu terjadi, yakni di satu sisi berupa pemaksaan kemenangan calon pilihan tadi, dan di sisi lain "penyumbatan" demokrasi secara tidak langsung. Artinya, aku sebagai ketua OSIS dengan dukungan pengurus lain bersikukuh Turmudzi harus menjadi pelanjut posisi ketua, dengan menggunakan rasionalitas dan argumentasi seperti tadi, dan bahkan demi tujuan itu segala cara harus dilakukan tak peduli meskipun harus meminggirkan proses demokrasi yang fair sekalipun.

Alhasil, karena spirit itu-lah, maka terjadilah rekayasa politik ala siswa-siswa SMA. Saat acara pemungutan suara, aku sebagai pimpinan sidang melakukan kecurangan dengan cara "menggelembungkan suara" Turmudzi. Ketika membaca surat suara, sebagian besar kubaca nama Turmudzi, meski yang tercantum bukan namanya. Dan untuk memuluskan itu, semua saksi-saksi yang mayoritas pengurus OSIS yang masuk geng-ku sudah disiapkan sebelumnya. Jadi benar-benar halus, hingga sebagian besar audiens ketika itu tidak menyadari terjadinya rekayasa tersebut. Turmudzi benar-benar naik menjadi ketua.


Ya Allah, ampunilah dosaku. Jangan lagi Kau bisikkan kebusukan itu kepadaku, suatu saat. Aku benar-benar menyesal...

(Terjadi di bulan Agustus 1993)
»»  Selengkapnya ...

DI ANTARA 2 PILIHAN



Pernah terjadi "perang tanding" antara 2 pilihan di dalam batinku.

Pertama adalah pilihan untuk melanjutkan studi di SMA Pamekasan. Sedangkan yang kedua adalah tetap bertahan di Sukorejo dengan memilih SMA Ibrahimy. Pertarungan yang amat sulit ditentukan siapa pemenangnya.

Itu tidak lain karena aku punya alasan yang sama-sama kuat dari kedua pilihan tersebut. Satu sisi batinku mengatakan, "Kalau kamu ingin berkembang lebih baik, sekaranglah saatnya mengambil keputusan penting : segera pilih sekolah di SMA 2 Pamekasan. Lanjutkan di sana karena sekolah itu terkenal gudangnya anak-anak berprestasi. Barangkali kamu bisa kecipratan, syukur-syukur bisa melebihi. Sedangkan jika engkau tetap di sini, aku jamin tidak ada perubahan yang berarti. Kamu akan datar-datar saja." Rasional dan masuk akal juga.

Tetapi sisi lainnya tak mau kalah, "Percuma sobat. Apalah artinya prestasi di sektor itu kalau ternyata nuranimu tidak sejalan dengan petunjuk uluhiyah. Aku ingatkan, jika saat ini kamu mengambil keputusan untuk menghentikan petualangan keislamanmu sampai di sini, maka habislah masa 3 tahun pencarianmu tentang Islammu. Ibarat pepatah, "kemarau setahun musnah oleh hujan sehari." Ingat, itu sungguh-sungguh akan terjadi. Kenapa? Karena menurutku masa 3 tahun itu belum memadai untuk membekaskan di dalam ke-diri-anmu. Belum ada apa-apa yang bisa kau banggakan nantinya. Silahkan pilih lanjutkan di luar, itu hakmu. Tetapi bersiap saja menerima resikonya."

Benar-benar linglung aku dibuatnya. Hingga hampir menghabiskan waktu cukup lama, tetapi belum ada keputusan yang dibuat. Padahal waktu semakin mepet. Pendaftaran siswa baru di SMA 2 Pamekasan hampir ditutup. Keluarga di Pamekasan sudah tanya-tanya kepastiannya. Bapak di rumah juga sudah gusar karena aku terlalu bertele-tele, "Cepat, buat keputusan! Supaya bapak bisa siap-siap." Tinggal keputusanku yang ditunggu, hal lain sudah siap. Ijazah SMP sudah keluar, rekomendasi gampang diurus, bisa 1 hari selesai. Ongkos dan biaya penunjang sudah OK.

Justru karena desakan itu, aku semakin kalang kabut. Bagaimana ini, apa yang harus kuperbuat???

Akhirnya, di antara 2 pilihan tersebut aku dapat memutuskan. Seolah-olah ada yang membisikkan di telingaku, "Fren, tetaplah di pesantren ini. Lanjutkan perjalananmu di ranah yang sama. Yakinkan dirimu karena ada hikmah besar yang akan kau petik nantinya."

OKE-lah. Akhirnya, aku melanjutkan sekolah di SMA Ibrahimy. Kutambah pengalamanku di pesantren ini 3 tahun lagi. Bismillahirrohmanirrohim.

(Terjadi di bulan Juni 1991)
»»  Selengkapnya ...

BISA KUCING, BISA MACAN



Salah satu binatang favoritku adalah kucing. Tidak semua kucing memang. Aku senangnya hanya kepada kucing yang polos, bersih, dan minimalis (maksudnya yang punya warna minim, tidak banyak).

Alasanku kenapa menyukai kucing adalah karena kucing ternyata merupakan hasil gabungan dari dua sifat yang berlawanan: baik dan buruk. Lembut dan keras. Jinak dan liar. Kucing punya simbol kekerasan. Lihatlah cakar, gigi-gigi taring, dan ketajaman tatapan matanya. Tapi ia pun memiliki ciri kelembutan yang tiada taranya dalam dengusan dan aumannya. (Aku paling senang jika tengah membelai kucing yang tengah tertidur pulas, karena saat itu terdengarlah dengusannya yang sangat menyentuh)

Karena favorit, aku mencoba menirunya. Mengambil yang pantas diambil. Aku berharap memiliki kelembutan mirip kucing. Bersahabat dengan siapa saja. Bertutur kata dan bertingkah lembut dengan siapapun.

Tapi jangan sekali-kali injak ekor kucing. Harga dirinya. Ia bisa sangat liar dan sudi melukai siapapun. Ingat, kucing sebenarnya masih berkerabat dengan macan. Sifat dan perilakunya tak jauh beda.

Aku ingin lembut dengan siapa pun. Tapi jangan sekali-kali sentuh hal-hal yang sensitif. Aku bisa jadi “macan”.
»»  Selengkapnya ...

MAHALNYA SEBUAH MOMENTUM



Kata banyak orang, sesuatu yang bernilai itu biasanya berharga mahal. Aku setuju. Tapi jika orang-orang berkata sesuatu yang mahal biasanya berujud sesuatu yang konkrit, aku tidak setuju. Kenapa?

Karena aku meyakini, momentum adalah sesuatu yang termasuk berharga mahal. Amat mahal bahkan. Padahal momentum bukan barang konkrit, tetapi abstrak.

Tapi biarpun abstrak, wahh ... bagiku ia amat berharga. Untuk memperolehnya tidak segampang membalikkan kedua telapak tangan. Bahkan jika sekalipun ratusan tulang telah kubanting, ribuan tetes keringat telah kuperas, belum tentu momentum dengan sendirinya dapat diraih.


So, apa itu momentum???Kok begitu sulit meraihnya?? Momentum adalah seperseribu detik kesempatan untuk meraih apa yang dicita-citakan. Seperseribu detik kesempatan???? Singkat sekali????

Begitulah, dan itu dia yang membuatnya begitu mahal. Tidak mudah meraihnya, plus kehadirannya amat singkat. Aku merasa selama ini tidak gampang memperolehnya. Aku kerap mengkonstruksi suatu rencana. Banyak rencana, bahkan di antaranya termasuk "rencana besar".

Tapi ya itu tadi, karena aku gagal meraih momentum, rencana-rencana itu tak pernah menjadi kenyataan. Aku berharap suatu saat aku mampu membeli momentum itu, seberapa pun mahal harganya. Pasti!
»»  Selengkapnya ...

QUIT IS MY LIFE



Benar-benar sekarang kondisinya semarak. Dimana-mana nyaris semua orang beranggapan sama: suaranya adalah harga yang tak ternilai, karena itu sangat pantas untuk diperhatikan, dipedulikan, dan jangan sekali-kali disepelekan. Dus, mau tak mau ada banyak pula orang berebut perhatian, berkompetisi dan bersuara selantang-lantangnya agar unggul dan menjadi panutan luas.

Tapi aku tidak. Aku tidak pernah –dan tidak akan—menganggap suaraku adalah “suara emas”. Suara yang bernilai tinggi, suara yang wajib didengarkan. Tidak. Itu karena aku tidak lagi bersemangat untuk bersuara. Mungkin aku terlalu khawatir akan terlalu banyak khilaf ketimbang lurus jika nantinya aku dipaksa untuk mengeluarkan isi mulut dan hatiku.

Amat mengerikan jika harus membayangkan dampak dari salah ucap. Tidur tak lagi nyenyak, makan tak lagi kenyang, nafas kian sesak, langkah kian berat, pandangan kian kabur, gerak hidup kian sempit. Tak ada lagi senyuman, semua berganti dengan kerutan muram. Uhh, berat!

Lebih baik diam, atau bicara seperlunya saja. Aku ikhlas jika suaraku tidak lagi menjadi bagian sejarah, lenyap ditelan hiruk pikuk bumi.
»»  Selengkapnya ...

PERGILAH, BAPAK. AKU IKHLAS MESKI BERAT



Jum'at, 25 Februari 2005
pukul 16.15 WIB

















H. MOHAMMAD SJUBLI




Ada kelu teronggok di balik benak, tapi aku tak mampu menyingkirkannya. Betul-betul tak mampu, bukannya tak mau. Hati mengatakan jangan, tapi aku bukanlah Tuhan yang berhak menahannya. Kain putih itu tetap saja terbalutkan, kayu-kayu balok itu tetap saja terbingkaikan, hingga aku tak sadar aku telah berhadapan dengan kesunyian. Kesendirian tanpa kasih sayang yang pernah kudapatkan sejak kecil.


PEMAKAMAN GATOT KACA KOLPAJUNG, PAMEKASAN


Beristirahatlah bapak dengan tenang di tanah ini. Tersenyumlah pak, karena aku juga mencoba untuk tersenyum, meski berat.

Akhirnya aku ditinggalkannya dengan menorehkan bara yang tertanam di dada ...
Maafkan aku, Pak. Selamat jalan...
»»  Selengkapnya ...

KECEWA VERSUS KECEWA



Aku memang telah kerap mengecewakan banyak orang. Mereka yang menggantungkan simpati dan kebanggaan di atas pundakku, karena tindakanku, ucapanku, dan segala hal yang berasal dari naluri manusiawi yang kumiliki.

Tapi kemudian semuanya "hangus" karena kenyataan yang berbicara justru sebaliknya. Aku tak mampu memenuhi harapan mereka. Tindakan, ucapan, dan sensibilitasku ternyata "jauh panggang dari api". Tak ada yang pantas untuk dibanggakan, apalagi harus bersimpati. Dus, aku yakin, mereka pasti kecewa.

Tapi tunggu dulu ... aku pun tak lebih demikian juga.

Sebagai manusia, aku juga membutuhkan "tempat bergantung", "tempat bersandar", dan "tempat berpijak". Artinya, akupun sebenarnya sama dengan mereka, naluriku mengatakan aku butuh simpatiku kuletakkan di pundak orang lain, rasa banggaku ku amanatkan kepada orang lain. Dus, aku membutuhkan panutan.

Dan apa yang terjadi ...???

Mereka yang selama ini kubanggakan, kutanam dalam-dalam rasa simpatiku, tanpa sadar satu demi satu rontok dan surut. Mereka yang selama ini kucontoh sisi baiknya, kini mulai menampakkan dominasi sisi buruknya, kekurangannya.

Untunglah, karena wawasan inilah, aku semakin percaya diri. Aku tidak terlalu pusing dengan kekuranganku sendiri. Apalagi jika sampai kekurangan ini menjadi sumber kekecewaan orang lain. Pikirku, "Inilah namanya pertarungan dua kutub kekecewaan". Mereka yang kecewa kepada ku belum tentu mampu meyakinkanku bahwa mereka pun akan sanggup membuatku bangga.

Dasar manusia, tak ada yang sempurna.
»»  Selengkapnya ...

MENCARI AIR MATA



Ada banyak orang mengejar cinta, itu karena cinta menawarkan keindahan. Ada banyak orang memburu harta, itu karena harta menjanjikan ketenangan. Ada banyak orang bergairah dengan jabatan, itu karena jabatan merupakan jembatan menuju segala surga dunia.

Tapi aku mencoba lebih realistis. Aku memang butuh cinta, karena aku merindukan keindahan yang ditawarkannya. Aku juga memimpikan harta, karena harta membuatku dibutuhkan orang. Dan aku pun mengharapkan jabatan, karena dengannya aku bisa melangkah nyaris tanpa batas.

Tetapi, terus terang aku lebih membutuhkan AIR MATA. Karena dengannya aku bisa memanfaatkan ketiga hal tersebut menjadi simbol-simbol Ketuhanan-ku sekaligus mengontrol kemahasembronoanku sebagai manusia. Akan kugunakan air mata untuk menangisi cintaku jika ia tak sesuai dengan ridho-Nya. Akan kupaksakan pula air mataku untuk men-duka-kan hartaku jika ia justru menjerumuskan kedermaanku. Dan begitu pun akan kualirkan air mata sebagai ekspresi surutku kala jabatan itu malah menghampakan kepekaan sosialku.

Ya ALLAH, berilah hambamu ini cinta, harta, dan jabatan. Tetapi berikanlah semuanya setelah Engkau berikan aku air mata. Buatlah ia terus menetes dari mataku sesering mungkin ...
»»  Selengkapnya ...